(Memperingati Bulan Bahasa dan Sastra Nasional)
Hari ini, 28 Oktober 2019,
Indonesia memperingati 91 tahun Sumpah Pemuda. Nah, kebetulan di fakultas saya sedang ada lomba. Awalnya, saya
enggak begitu ngeh sama acara itu.
Tapi, dosen membahas hal ini di kelas: mengapa poster acara itu menggunakan
bahasa Inggris padahal terlaksana di hari Sumpah Pemuda yang salah satu
ikrarnya mengatakan “bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan”? Teman-teman,
yang kebetulan panitia acara, cuma bisa tertawa sambil saling menyalahkan.
Mereka juga tidak tahu apa jawabannya.
Hal serupa terjadi di
kehidupan sosial kita. Coba perhatikan bangunan di pinggir jalan raya.
Mayoritas bangunan itu, baik rumah makan ataupun toko, menggunakan bahasa
Inggris sebagai nama. Ada Alfamart, foodcourt,
café, dan sebagainya. Gedung yang
skalanya besar dan ternama cenderung menamai diri dengan bahasa Inggris. Contoh
paling mudah adalah nama mal (serapaan baku dari mall) di Jakarta, seperti Grand Indonesia Shopping Town, Gandaria
City, dan Pacific Place. Mereka memilih nama bahasa asing daripada bahasa lokal
tempat gedung itu berdiri. Sebuah gedung baru menggunakan “bahasa” sebagai nama
ketika ia berskala lokal, seperti toko serba ada atau pasar tradisional. Ketika
saya memaknai hal ini, berarti suatu bangunan dinamai dengan bahasa asing untuk
globalisasi dan mencapai skala internasional saja. Istilah kerennya, go international. Pertanyaan saya,
mengapa sih harus menjadikan
globalisasi, dalam hal ini bahasa Inggris, sebagai kunci? Memang kalau mal itu
bernama lokal, tidak ada bule yang datang, gitu?
Fenomena di atas terjadi
karena inferiority complex yang orang
Indonesia miliki terhadap bahasa Indonesia. Inferiority
complex merupakan kondisi ketika suatu pihak, orang Indonesia yang
berbahasa Indonesia, merasa inferior atau lebih rendah dengan pihak lain,
bahasa Inggris. Dalam kondisi ini, mereka menganggap derajat bahasa asing lebih
tinggi. Siapa yang menguasai bahasa asing, lebih terjamin kesuksesannya.
Padahal, kalau kita punya kemampuan, walau tidak menguasai bahasa Inggris
sebagai bahasa internasional, pasti tetap mendapat pengakuan. Perdana Menteri
India Narendra Modi, Presiden Rusia Vladimir Putin, dan Presiden Tiongkok Xi
Jinping adalah sebagian pemimpin negara yang jarang berbahasa Inggris bahkan di
forum internasional. Apakah ada yang meragukan integritas mereka karena hal
itu? Tentu tidak. Lihatlah penulis buku abad 18-an. Mereka menulis buku dalam
bahasa mereka sendiri. Ketika penerbit luar datang untuk menerjemahkan buku
mereka, maka pengakuan kemampuan mereka datang juga. Novel Ronggeng Dukuh Paruk, sebagai contoh, diakui dan diterjemahkan ke
bahasa Inggris, Tiongkok, dan Jerman, padahal Ahmad Tohari menulisnya dengan
bahasa Indonesia dan budaya lokal yang kental. Ia tidak perlu susah payah membuat
buku berbahasa asing supaya laku secara global.
Inferioritas sukses dengan
bahasa ibu juga terjadi pada penyanyi dan musisi dalam negeri saat ini. Waktu
saya SD, belum lama kok sekitar 10
tahun yang lalu, lagu musisi Indonesia menggunakan bahasa Indonesia. Paling pol ya lagu-lagu Melly Goeslaw, seperti Let’s Dance Together, yang ada lirik
Inggrisnya. Itupun diksi Inggris yang dipilih sederhana. Coba zaman sekarang,
penyanyi Indonesia sibuk bikin lagu berbahasa Inggris lengkap dari awal hingga
akhir. Liriknya pun kompleks, seperti lagu barat beneran. Dengerin deh The Bitterlove-nya Ardhito Pramono atau Underwater-nya Rendy Pandugo. Semua
liriknya bahasa Inggris. (Sebelumnya, maaf buat penggemar mereka karena saya
menjadikan mereka contoh. Saya enggak terlalu tahu lagu sekarang, apalagi yang
bahasanya Inggris. Hehe.) Kalau Ardhito atau Rendy membuat lagu itu untuk debut
internasional, seperti Anggun C. Sasmi, atau berlabel luar, seperti Rich Brian,
mungkin ini bukan masalah. Tapi, perasaan enggak deh. Hal yang ironis adalah saat penyanyi Indonesia sibuk membuat
lagu asing, orang luar negeri justru menyanyikan ulang lagu Indonesia. Salah
satu yang baru terjadi adalah lagu Andmesh berjudul Cinta Luar Biasa yang
dinyanyikan ulang oleh Doyoung dan Haechan, member boyband Korea NCT 127. Terlepas dari tujuan mereka menyanyikan lagu
itu untuk menarik penggemar Indonesia, ini menunjukkan bahwa lagu buatan anak
bangsa bukan lagu buruk dan sulit menjangkau minat orang luar. Untuk terkenal
secara internasional, penggunaan bahasa Inggris dalam lagu bukan hal yang wajib
dilakukan. Contoh paling fenomenal adalan Bangtan Boys. Boyband produk asli Korea ini semua anggotanya orang Korea. Lagu
mereka yang meraih posisi di tangga lagu Billboard Hot 100, dengan dominasi
musisi Barat, juga berbahasa Korea. Contoh lain adalah lagu Despacito dari Luis Fonsi yang berbahasa
Spanyol. Berarti, anggapan kalau lagu dan merek berbahasa Inggris lebih
memudahkan promosi ke luar negeri adalah hal yang salah. Mengapa musisi
Indonesia tidak membuat dan mempromosikan lagu berbahasa Indonesia di luar
negeri?
Sesungguhnya, tidak ada
bahasa yang superior daripada bahasa lain. Kedudukan bahasa Inggris hanyalah
sebagai bahasa internasional, bersama bahasa Arab, Mandarin, Spanyol, Rusia,
dan Perancis. Manusialah yang menjadikan bahasa Inggris superior. Kita merasa
rendah menggunakan bahasa nasional. Memangnya, ada apa sih kalau kita menggunakan bahasa Indonesia? Lebih baik kita
membawa bahasa Indonesia ke ranah global kan
ketimbang mengikuti globalisasi dengan berbahasa asing.
Komentar
Posting Komentar