Langsung ke konten utama

Ayo Belajar Baca di Bioskop!


(Memperingati Bulan Bahasa dan Sastra Indonesia 2019)

Agustus kemarin, Bumi Manusia dan Perburuan meramaikan jagad perfilman Indonesia. Jaringan bioskop sibuk memutar film ini di semua studio mereka. Masyarakat berbondong memenuhi kursi merah di depan layar. Produksi dan promosi kedua film terbayarkan. Bumi Manusia mampu meraup satu juta tiga ratus penonton lebih, menjadi film kedelapan ber-penonton terbanyak sepanjang 2019. Kedua film tersebut sebenarnya ekranisasi dua novel Pramoedya Ananta Toer berjudul sama yang terbit di tahun 1900-an. Ekranisasi berarti adaptasi karya sastra ke dalam film. Berkat usaha Falcon Pictures “memanusiakan” novel itu, generasi tua diingatkan akan karya besar Pram. Generasi muda yang belum lahir di era Pram dan bukan pecinta sastra pun tergelitik membaca karya beliau.

Film Mengenalkan Karya Sastra

Di zaman serba modern dengan teknologi seperti sekarang, anak muda lebih menyukai visual. Ketimbang membaca buku cetak, menonton film di bioskop tentu lebih menarik. Minat baca yang rendah, mempersedikit pembaca karya sastra Indonesia. Padahal, sastra Indonesia ada sejak angkatan balai pustaka tahun 1920-an. Salah satu karya di era ini adalah kisah Siti Nurbaya. Anak muda kelahiran 1900-an mungkin tak asing dengan kisah tersebut. Namun, bagaimana dengan generasi Z yang lahir setelahnya? Keinginan dan kesempatan yang minim untuk mempelajari karya sastra zaman dulu membuat kisah legendaris di masa lampau terlupakan. Ketika novel penulis legendaris sekelas Pram dan NH Dini dirilis kembali di pasaran, yang tidak se-jadul Azab dan Sengsara (Merari Siregar, 1920), Siti Nurbaya (Marah Roseli, 1922), dan Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), keadaan ini tidak banyak berubah. Karya mereka hanya diburu oleh orang yang tahu saja. Gampangnya gini, seberapa banyak sih anak muda Indonesia yang tahu kalau Bumi Manusia itu novel tahun 1980 sebelum Iqbaal Ramadhan jadi Minke? Tidak ada angka pastinya. Namun, gara-gara sutradara Hanung Bramantyo mendapuk Iqbaal menjadi Minke, ia mengenalkan Pram kepada fans Iqbaal. Terlepas dari siapa-yang-mengenalkan-siapa-yang-lebih-terkenal-dari-siapa, setidaknya ketika fans Iqbaal keluar dari bioskop, ia jadi tahu kalau ada novel berjudul Bumi Manusia. Novel ini pun kembali mendapatkan tempatnya di toko buku nasional. Kemudian, beri selamat kepada Pram yang mendapatkan penggemar baru.

Pengenalan karya sastra melalui film tidak hanya berlaku pada sastra adiluhung seperti Bumi Manusia. Lebih banyak lagi sineas yang melirik sastra populer untuk dibawa ke layar lebar. Setelah kisah Minke, Twivortiare karya Ika Natassa tayang di bioskop Tanah Air. Film ini menjadi novel ketiga Ika yang difilmkan. Sesuai prinsip ekonomi, ada permintaan maka ada pe-nawaran. Prestasi Ika berasal dari selera pasar yang ada. Ketika banyak orang menonton film yang mengadaptasi novel, rumah produksi gencar mencari karya mana lagi yang bisa difilmkan. Apakah ini signifikan? Lihat, Dilan 1991 yang menjadi film Indonesia paling laris di 2019. Lima juta lebih orang menonton kisah Dilan, juga diperankan Iqbaal, dan Milea yang ada di novel berjudul serupa. Ini berarti kira-kira setengah penduduk DKI Jakarta menonton film ini. Hebat? Tentu saja. Pidi Baiq lebih hebat lagi karena mampu menciptakan novel best seller yang filmnya masuk box office.

Meningkatkan Minat Baca Masyarakat

Sulit mengadaptasi karya sastra menjadi film. Perbedaan kertas dan video menyebabkan tidak semua karya sastra dapat divisualisasikan. Cerita yang ada pada novel membebaskan orang berimajinasi seliar mungkin. Penokohan tokoh utama dan alur cerita tergambarkan secara detail pada novel. Novel fiksi sekelas Harry Potter, misal-nya, perlu 800 halaman untuk menceritakan Harry selama satu tahun ajaran. Bukan hal yang mudah mengubah itu menjadi film yang umumnya berdurasi dua jam. Keterbatasan ini menyebalkan sekaligus menjadi tantangan bagi sineas. Bisakah mereka membuat film yang menggambarkan ratusan halaman buku hanya dalam 120 menit? Maka, ketika film itu berhasil tayang dengan antusiasme penonton yang tinggi, berhasillah sang sutradara dan rumah produksi.

Ada banyak penyebab tinggi-rendahnya antusiasme penonton terhadap film adaptasi. Pembaca dan penggemar novel yang diadaptasi jelas menjadi penonton potensial. Mereka yang membaca novel tertarik melihat bagaimana layar mampu menggambarkan imajinasi mereka. Ada juga penonton yang menonton film adaptasi tanpa tahu cerita novelnya. Bisa saja mereka sekadar tahu film itu adaptasi novel, tapi belum membaca bukunya. Nah, di sinilah peran film dalam meliterasi baca masyarakat Indonesia. Jika pembaca novel berpotensi menjadi penonton film adaptasi, maka penonton film adaptasi juga berpotensi menjadi pembaca novel.

Kesuksesan film Dilan dan Bumi Manusia membuat penerbit sibuk mencetak ulang novel tersebut. Bumi Manusia yang terbit tahun 1980 dicetak ulang pada 2005 di bawah Penerbit Lentera Dipantara. Setahun sebelum filmnya tayang, novel ini beredar masal dengan sampul baru di Togamas dan Gramedia. Novel Dilan 1990, prekuel Dilan 1991, juga demikian. Ia baru terbit 2015, tapi rilis kembali dengan wajah Iqbaal dan Vanesha, aktor utama di film, sebagai sampul. Tindakan penerbit mencetak ulang novel laris yang telah difilmkan mungkin semata demi keuntungan dan mengikuti hype yang ada. Namun, bagi masyarakat, penerbitan ulang novel mematik minat baca mereka. Fans Iqbaal yang cuma menonton Bumi Manusia karena Minke atau Dilan 1990 karena Dilan menjadi sadar bahwa film ini ada bukunya. Rasa ingin tahu itu berubah menjadi minat membaca novel. Ada rasa ingin mencari tahu pengisahan asli cerita film sekaligus membandingkan bagaimana Minke atau Dilan dalam novel. Hype film menarik anak muda, yang notabene mengikuti tren, untuk membaca novel jadul dan tidak populer di masa ini.

Film Adaptasi Sastra Sarana Literasi

Film adaptasi menjadi media pembelajaran sastra yang seru. Indri Zikria Oktaviani  dalam skripsinya menyatakan, salah satu tujuan Kompetensi Inti (KI) dan Kompetensi Dasar (KD) kurikulum 2013 agar siswa memahami proses alih wahana dalam karya sastra (Oktaviani, 2019). Ini berarti siswa harus mampu membandingkan film adaptasi dengan novel. Keberadaan film Bumi Manusia, Dilan 1990, ataupun Laskar Pelangi menjadi sarana pembelajaran siswa. Seperti yang Sugeng Riyadi tuturkan lewat penelitiannya, film menjadi media pembelajaran yang menyesuaikan gaya belajar siswa. Mereka yang belajar secara visual, audiovisual, maupun kinestik terpenuhi karena sifat film (Riyadi, 2014).

Fenomena ekranisasi ada sejak dulu. Ketika sebuah novel difilmkan, muncul pro-kontra soal kesesuaian film dengan tulisan aslinya. Film adaptasi yang menyimpang dihujat pembaca novel. Bagaimanapun, film adaptasi menjadi sarana penarik minat baca masyarakat terutama anak muda. Penceritaan film yang baik dan aktor terkenal menumbuhkan keinginan penonton untuk membaca novel yang diadaptasi. Sekarang, kita tinggal tunggu saja novel Pram selanjutnya atau bahkan novel penulis legendaris lain meramaikan dunia film Nusantara.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Roti Gembong Gedhe vs Gembul vs Tidar di Magelang

  Kota Magelang punya banyak makanan khas yang patut dicoba atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Di kota kecil berjarak satu jam lima belas menit dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini, kita dapat berkunjung ke Gunung Tidar sebagai ikon kota sekaligus tempat wisata religi. Setelah berwisata, rasanya tidak lengkap tanpa mencicipi gethuk, kupat tahu, senerek, dan bolen. Selain itu, ada satu makanan oleh-oleh kekinian terbaru yang sedang meledak di Kota Magelang yaitu roti gembong. Roti gembong sejatinya makanan khas daerah Kutai, Kalimantan Timur. Nama “gembong” berasal dari bentuk roti yang menggembung. Roti yang hits belakangan ini merupakan kudapan favorit bagi bangsawan Kerajaan Kutai. Ini karena dulu roti termasuk makanan mahal sehingga sulit didapat rakyat biasa. Roti gembong umumnya dikonsumsi saat sarapan. Sekilas roti gembong tidak beda dari roti sobek biasa. Keduanya memang roti dengan isian dan dapat dibagi dengan cara disobek. Namun, beda dari roti sobek yang berupa rot...

Kingdom: Legendary War Is Mnet’s Most Missed Opportunity Survival Show

  I like how Juyeon literally judging not only other performance but also Mnet Mnet has a huge chance to use Kingdom: Legendary War to recover its bad reputation for these past years. But instead of making a fair fun survival show, Mnet keeps making a wrong choice that angers the viewers. As the result, Mnet continues to get backlash from the fans of the show’s attendees. Mnet got its bad name as the sly snake TV channel after Produce 101 series, one of its past survival show to create a new Kpop group, ruined. It all started from the fraud that the creator of Produce 101 has done. Basically, the producer and several agencies of Produce 101 trainees deceived the public by already picking the winner of the show before it has done. People then called Mnet as Msnake and start to not believe the fairness of every Mnet survival show including Kingdom: Legendary War. Looking at the damage to its reputation, Mnet actually has an opportunity to redeem it by creating a fair survival sho...

Siapa Aku?

Identitas diri adalah hal yang dibawa sampai mati. Tapi, enggak semua orang tahu "siapa aku" itu. Kalau aku enggak tahu siapa diriku, lalu siapa yang tahu? Semua orang punya identitas, tapi enggak semua paham siapa dirinya dan apa yang dia mau. Identitas sejatinya lebih dari nama di akte kelahiran atau status KTP. Identitas adalah pemahaman diri. Aku ini siapa, suka apa, dan mau ngapain.  Lalu, kenapa identitas diri itu penting? Karena tanpanya, aku berjalan di kertas putih. Enggak tahu warna, enggak tahu gambar, enggak tahu mau ke mana. Mengenal identitas diri itu menggambar di kertas putih. Tentang hidup dan tujuanku. Memahami diri itu sangat susah. Aku bisa saja baru tahu A-H dari hidupku, di saat masih ada I-Z yang belum aku temukan. Tapi, tenang. Temukan identitas diri pelan-pelan. Dan inilah aku "Hi! You may call me Wee (read: wi).  I'm a forever student, cause we always keep learning, right? I'll tell you any story or opinion from my perspective. Something...