Langsung ke konten utama

Kekerasan: Lingkaran Setan Bagi Anak

(Foto ilustrasi) Anak yang mengalami kekerasan di masa kecil berpotensi melakukan kekerasan ketika dewasa

Kekerasan anak bukan hal yang baru. Pemberitaan seputar kekerasan menjadi isi media sehari-hari. Itu baru kasus yang dilaporkan ke polisi. Kekerasan yang tak terekspos lebih banyak. Media biasanya memberitakan kekerasan anak berupa pelecehan, pembunuhan, maupun kekerasan lain yang menimbulkan luka. Padahal, tidak hanya itu. Berdasarkan Convention of the Rights of the Child (1989), kekerasan anak mencangkup semua bentuk kekerasan fisik atau mental, cedera dan pelecehan, pengabaian atau perlakuan lalai, dan penganiayaan atau eksploitasi. Jadi, cemooh dan pengabaian anak juga kekerasan. Sayangnya, publik mengabaikan ini.

Penelitian Global Prevalence of Past-Year Violence Against Children: A Systematic Review and Minimum Estimates karya Hillis, et.al (2016) menempatkan Asia sebagai tempat dengan angka kekerasan tertinggi pada 2014.  Lebih dari 714 juta anak Asia mengalami setidaknya satu kekerasan hebat. Di wilayah Asia-Pasifik, satu dari tiga anak perempuan dan satu dari empat anak laki-laki mengalami kekerasan emosional. Tujuh belas persen anak laki-laki mengalami kekerasan fisik, sedangkan anak perempuan dua belas persen. Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Survei Kekerasan Terhadap Anak Indonesia 2013 dari Kementerian Sosial menyebutkan sekitar tujuh juta anak laki-laki dan dua juta anak perempuan mengalami kekerasan.

Data Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat menunjukan pada rentan Januari – Desember 2017 terdapat 233 kekerasan anak. Kasus ini meliputi pelecehan seksual, pembunuhan, serta tawuran. 52 orang pelaku berusia 26 hingga 50 tahun. Sebenarnya, mengapa mereka yang notabenenya orang dewasa tega melakukan hal tersebut?

“Kekerasan terjadi karena rumus stimulan – respon,” kata Engkos Kosasih, psikolog sosial Universitas Pendidikan Indonesia. Respon anak yang tidak menyenangkan bisa menstimulasi emosi orang dewasa. Hal ini kemudian menyebabkan kekerasan. Lingkungan juga mempengaruhi perilaku kasar tersebut. “Tidak mungkin keluarga berlatar belakang baik melakukan kekerasan,” lanjutnya.

Data LPA menyebutkan 105 anak usia lima sampai sepuluh tahun menjadi korban mayoritas. Rosleny Marliani, psikolog perkembangan Universitas Islam Negeri Bandung, menyatakan, “Anak menjadi korban kekerasan karena dipandang lemah”.

Anak kelompok usia yang rentan. Tahapan tumbuh kembang manusia menempatkan anak di bawah bayi. Remaja dan tua berada di atasnya. Anak tidak tahu apa itu kekerasan dan resikonya. Semakin dewasa, nalarnya semakin bertambah. Mereka sadar akan mendapat kekerasan dan berpotensi mencegahnya. Buktinya, kasus kekerasan pada anak usia 15 hingga 18 tahun ‘hanya’ terdapat 47 korban. Lebih sedikit dari korban mayoritas, walau sama buruknya. Kondisi rentan tersebut mempengaruhi psikis anak yang menjadi korban.

Menurut Sasa, aktivis perempuan dan anak, “Syaraf otak anak bisa rusak akibat kekerasan”. Semakin parah kekerasan, makin berat dampaknya. “Mereka bahkan bisa ketagihan,” tambahnya.

“Trauma seperti cemas, takut, dan emosi yang tidak stabil bisa mempengaruhi lingkungan mereka. Buruknya, mereka berpotensi menjadi pelaku,” ujar Rosleny.

Mengapa kekerasan pada anak bisa terjadi? Pada tahun 2015 Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) melakukan survei tentang Pemenuhan Hak Pengasuhan Anak. Hasilnya? Pengasuhan berkualitas dari orang tua yang minim menyebabkan tingginya angka kekerasan. Mereka mencatat selama tahun 2011 hingga 2016 terdapat 4.294 kasus kekerasan anak yang dilakukan keluarga dan pengasuh. Hal yang menyedihkan adalah 66,4% ayah dan 71% ibu memperlakukan anak seperti bagaimana mereka dahulu diperlakukan. Kesimpulannya, orang tua yang mengasuh anak dengan kekerasan bisa menyebabkan sang anak berlaku sama ketika ia dewasa. Anak yang dahulu jadi korban bisa jadi pelaku kekerasan pada anaknya kelak. Kekerasan anak pun jadi lingkaran setan tak berujung.

Lingkaran itu harus diputus. Korban perlu mendapat rehabilitasi. Bagaimana caranya? Lembaga Perlindungan Anak (LPA) dan Pusat Perlayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) memfasilitasi itu. Mereka akan menghubungkan korban dengan psikolog dan kepolisian. Polisi menjerat pelaku, sedangkan psikolog menyembuhkan psikis korban yang terluka.

Ada tiga macam rehabilitasi bagi korban.

Pertama, rehabilitasi hubungan anak dan keluarga, maupun sebaliknya. Keluarga berperan besar bagi anak. Mereka tempat sekaligus pembentuk kepribadian anak.

Selanjutnya, rehabilitasi antara anak dan temannya. Korban kekerasan berpotensi melakukan hal serupa pada temannya. Ini harus dicegah. Selain itu, korban cenderung takut dan malu bergaul. Padahal, sebagai makhluk sosial, anak butuh teman. Kesepian tanpa teman justru menambah masalah.

Terakhir, rehabilitasi ibu dan ayah. Gejolak antara orang tua mempengaruhi psikis anak. Pertengkaran kerap menimbulkan kekerasan. Ibu dan ayah perlu sadar akibat perselisihan mereka bagi anak dan berhenti.

Rehabilitasi bagi korban tidak main-main. Psikolog tidak menyembuhkan korban sembarangan. Ia menyesuaikan ranah masalahnya, seperti psikolog pendidikan untuk kekerasan di sekolah.

Pelaku kekerasan juga perlu mendapat rehabilitasi. “Pelaku harus tahu kalau perilakunya salah,” kata Engkos.

Yanti Sri Yulianti, Ketua Keluarga Peduli Pendidikan (KerLiP) di Bandung, menyatakan pelaku harus direhabilitasi untuk mencegah pengulangan kekerasan.

Apakah banyaknya kekerasan anak terjadi akibat perhatian orang tua yang kurang? “Ya” jawab Yanti.

Lalu, bagaimana sikap orang tua seharusnya?

Menurutnya, orang tua harus menyayangi dan mendengarkan anaknya. Pemberian penghargaan atas prestasi anak sekecil apapun itu juga bisa dilakukan. Anak jadi merasa dihargai dan dicintai.

“Orang tua jangan segan memeluk anak!” serunya. Pelukan itu bukti cinta orang tua pada sang anak. “Segera lakukan sebelum mereka tambah dewasa dan enggan dipeluk,” tambahnya sambil tertawa.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Review Roti Gembong Gedhe vs Gembul vs Tidar di Magelang

  Kota Magelang punya banyak makanan khas yang patut dicoba atau dibawa pulang sebagai oleh-oleh. Di kota kecil berjarak satu jam lima belas menit dari Daerah Istimewa Yogyakarta ini, kita dapat berkunjung ke Gunung Tidar sebagai ikon kota sekaligus tempat wisata religi. Setelah berwisata, rasanya tidak lengkap tanpa mencicipi gethuk, kupat tahu, senerek, dan bolen. Selain itu, ada satu makanan oleh-oleh kekinian terbaru yang sedang meledak di Kota Magelang yaitu roti gembong. Roti gembong sejatinya makanan khas daerah Kutai, Kalimantan Timur. Nama “gembong” berasal dari bentuk roti yang menggembung. Roti yang hits belakangan ini merupakan kudapan favorit bagi bangsawan Kerajaan Kutai. Ini karena dulu roti termasuk makanan mahal sehingga sulit didapat rakyat biasa. Roti gembong umumnya dikonsumsi saat sarapan. Sekilas roti gembong tidak beda dari roti sobek biasa. Keduanya memang roti dengan isian dan dapat dibagi dengan cara disobek. Namun, beda dari roti sobek yang berupa rot...

Kingdom: Legendary War Is Mnet’s Most Missed Opportunity Survival Show

  I like how Juyeon literally judging not only other performance but also Mnet Mnet has a huge chance to use Kingdom: Legendary War to recover its bad reputation for these past years. But instead of making a fair fun survival show, Mnet keeps making a wrong choice that angers the viewers. As the result, Mnet continues to get backlash from the fans of the show’s attendees. Mnet got its bad name as the sly snake TV channel after Produce 101 series, one of its past survival show to create a new Kpop group, ruined. It all started from the fraud that the creator of Produce 101 has done. Basically, the producer and several agencies of Produce 101 trainees deceived the public by already picking the winner of the show before it has done. People then called Mnet as Msnake and start to not believe the fairness of every Mnet survival show including Kingdom: Legendary War. Looking at the damage to its reputation, Mnet actually has an opportunity to redeem it by creating a fair survival sho...

Siapa Aku?

Identitas diri adalah hal yang dibawa sampai mati. Tapi, enggak semua orang tahu "siapa aku" itu. Kalau aku enggak tahu siapa diriku, lalu siapa yang tahu? Semua orang punya identitas, tapi enggak semua paham siapa dirinya dan apa yang dia mau. Identitas sejatinya lebih dari nama di akte kelahiran atau status KTP. Identitas adalah pemahaman diri. Aku ini siapa, suka apa, dan mau ngapain.  Lalu, kenapa identitas diri itu penting? Karena tanpanya, aku berjalan di kertas putih. Enggak tahu warna, enggak tahu gambar, enggak tahu mau ke mana. Mengenal identitas diri itu menggambar di kertas putih. Tentang hidup dan tujuanku. Memahami diri itu sangat susah. Aku bisa saja baru tahu A-H dari hidupku, di saat masih ada I-Z yang belum aku temukan. Tapi, tenang. Temukan identitas diri pelan-pelan. Dan inilah aku "Hi! You may call me Wee (read: wi).  I'm a forever student, cause we always keep learning, right? I'll tell you any story or opinion from my perspective. Something...