Nguri-uri lan Nguripi Basa Jawa
(Melestarikan dan Menghidupkan Bahasa Jawa)
![]() |
Triman Laksana menjelaskan buku yang ia kerjakan di rumahnya, Mungkid Kabupaten Magelang |
Minat rendah anak muda terhadap bahasa daerah bukan hal yang biasa lagi. Bahasa daerah seakan hilang di tengah globalisasi yang mempertemukan dengan bahasa dan budaya asing. Anak muda menjadi lebih tertarik belajar bahasa dan budaya asing daripada melestarikan bahasa ibunya. Hal ini semakin menjauhkan pelestarian bahasa daerah. Bahasa daerah yang awalnya terancam akibat penggunaan bahasa nasional, Bahasa Indonesia, semakin kehilangan pasarnya. Salah satu bahasa daerah yang terancam adalah Bahasa Jawa.
Nama
Triman Laksana memang baru terdengar beberapa tahun belakangan. Ini berkat
penghargaan Prasidatama 2017 yang diberikan Balai Bahasa Jawa Tengah.
Penghargaan tersebut diberikan pada tokoh sastra dan bahasa yang berjasa dalam
pengembangan bahasa dan sastra di Jawa Tengah. Raihan
ini menambah penghargaan lain yang pernah ia terima, salah satunya Rancage
2015. Walau namanya baru kondang sekarang, pemilik Padhepokan Djagat Djawa ini
telah berkiprah menulis sastra Jawa dan Indonesia sejak tahun 1970-an.
Kepeduliannya terhadap pelestarian Bahasa Jawa salah satunya ia salurkan
melalui Gerakan Seniman Masuk Sekolah.
Menurut Triman Laksana, anak muda sekarang tertarik belajar sastra Jawa hanya sekadar mengincar pekerjaan guru. Mereka tidak mempelajari sastranya. Menulis Jawa pun tak mahir. Ini berbeda dengan di era 1970-an, di mana sastra Jawa berkembang seiring banyaknya majalah Jawa yang terbit. Konten-konten media masa itu masih banyak yang kedaerahan. Berbeda dengan zaman sekarang yang mayoritas berbahasa Indonesia. Anak muda sekarang jadi semakin tidak berminat karena tidak diperlihatkan contoh sastra Jawa secara luas.
Triman juga mendorong penulis yang masih belajar untuk terus menulis. “Tidak ada tulisan yang jelek,” ujarnya. Mereka hanya perlu memotivasi diri dan fokus dengan tujuan. Bahasa Jawa dapat tersalurkan melalui tulisan.“Sastra Jawa tidak akan mati! Bahasa Jawa yang mungkin mati,” serunya. Karenanya, sebagai generasi muda, kita harus melestarikan Bahasa Jawa. Kita bisa melestarikannya dengan belajar menulis sastra Jawa. Jangan sampai ada satu generasi yang menghilangkan bahasa daerah mereka.
Sebenarnya, bagaimana keadaan sastra Jawa zaman dahulu? Bagaimana cara kita melestarikannya? Bagaimana cara kita belajar menulis, terutama sastra Jawa? Berikut wawancara penulis dengan Triman Laksana.
…
Anda fokus menulis sastra jenis apa? Sastra Indonesia atau Jawa?
Saya fokus menulis sastra Indonesia dan Jawa. Sastra Jawa untuk idealis, sedangkan Indo untuk mencari uang.
Bagaimana anda mulai menulis?
Saya dilahirkan miskin. Tapi sewaktu kelas 3 SD di Yogyakarta, bacaan saya sudah buku tebal. Di lingkungan saya, ada sebuah percetakan buku. Orang tua saya jadi jadi buruh bekerja mengumpulkan halaman. Saya juga ikut bekerja. Dari buku-buku hasil percetakan itulah saya mulai membaca.
Siapa inspirator anda dalam menulis?
Waktu kecil saya suka Chairil Anwar. Semakin dewasa baru menyukai WS Rendra dan Cak Nun. Kelas 5 SD saya membaca Diponegoro karya Chairil Anwar kemudian memodifikasi dan dimuat di majalah dinding sekolah.
Bagaimana anda bisa fokus menulis dengan dua bahasa?
Awalnya saya menulis sastra Indonesia. Kelas 1 STM (setingkat SMA red.) saya mengirim puisi diterima di Majalah Variasi Putra Jakarta. Tapi perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta sulit. Agak stagnan. Saya kemudian mencoba sastra Jawa. Perasaan saya justru lebih kuat setelah menulis sastra Jawa. Saya mulai menulis sastra Indonesia tahun 1979, sedangkan sastra Jawa 1988.
Sastra Jawa kan tidak umum, bagaimana respon masyarakat?
Zaman dulu respon masyarakat lumayan, walau honornya di bawah sastra Indonesia. Sebelum krisis, media yang memuat sastra Jawa masih banyak, ada koran atau rubrik Jawa. Namun, setelah krisis, mereka gulung tikar. Sekarang saja tinggal ada 3 media. Itu pun berkat dukungan media lain, contohnya Majalah Jayabaya yang didukung Jawa Pos. Dari sastra Jawa saya tidak hanya mendapatkan nama dan penghargaan, tapi juga persaudaraan. Menulis sastra Jawa dari dulu enggak susah. Ini karena dilandasi hobi kemudian menjadi profesi.
Bagi orang luar Jawa, apa itu geguritan?
Geguritan itu puisi Jawa tapi bebas tidak terikat rima seperti Macapat. Puisi ini hampir sama dengan puisi Indonesia hanya bahasa yang membedakan.
Bagaimana karakter tulisan anda?
Tulisan saya tidak terlalu banyak menggunakan bahasa bermajas. Saya menggunakan bahasa sederhana. Isinya pun tidak cuma cinta tapi ada maknanya. Saya juga memasukkan penggambarannya surealis (tidak nyata red.) untuk menceritakan kisah dalam tulisan.
Dari mana anda mendapat inspirasi untuk tulisan tersebut?
Dari mana-mana. Saya enggak percaya soal ilham ide yang turun. Tapi, saya menulis dari pengalaman sendiri. Minimal pernah melihat hal yang akan saya tulis. Saya biasa melakukan riset pencarian bahan tulisan. Akibatnya, materi lebih dalam. Pengalaman menyebabkan saya menulis itu dengan rasa dan hati, bukan emosi.
Bagaimana cara mencari ide?
Setiap orang tidak mungkin tidak mempunyai ide. Ketika menemukan ide, harus langsung ditulis. Sekarang lebih mudah bisa menulis di ponsel. Dulu saya paling tidak membawa secarik kertas dan pulpen. Jangan pernah terjebak menunggu ide. Ide itu ada di mana saja.
Bagaimana cara menumbuhkan semangat menulis yang hilang?
Saya biasa kumpul dengan komunitas yang sama-sama suka menulis. Dari mengobrol-ngobrol biasa nanti menimbulkan gairah menulis. Kalau baca karya di media, remehkanlah. Tulisan seperti ini saja dimuat, tulisan saya yang lebih bagus masa tidak. Banyak membaca akan semakin memotivasi kita menulis.
Bagaimana cara konsisten menulis?
Buatlah jadwal. Penulis harus disiplin. Jangan sampai apa yang ingin kita tulis ternyata keduluan orang.
Bagaimana dengan penulis pemula?
Saya tidak pernah menyebut pemula. Mereka penulis yang masih belajar. Sebagai orang yang baru belajar menulis, mereka bisa melakukan ATM; amati, tiru, dan modifikasi. Lama-lama mereka akan menemukan ciri khas sendiri.
Bagaimana pendapat anda terhadap anak muda yang sedikit peduli bahasa daerah?
Walaupun sedikit, tapi masih ada. Orang yang kuliah di sastra Jawa orientasinya jadi guru, bukan sastranya. Tapi, masih banyak anak muda yang belajar sastra. Mereka saya paksakan belajar sastra Jawa.
Anak muda lebih berminat ke bahasa dan sastra asing?
Mayoritas mereka kuliah sastra asing untuk sekadar masuk kuliah. Ini karena peluang diterimanya besar. Tapi bukan karena memang mau dan minat belajar itu.
Bagaimana cara anda mengenalkan bahasa dan sastra Jawa?
Keluarga sekarang mayoritas menggunakan bahasa Indonesia. Padahal tidak ada etika dalam bahasa Indonesia. Bahasa Jawa beda umur, beda pula kosa katanya. Selain itu, sekolah menjadi masalah. Bahasa pengantar pembelajaran menggunakan bahasa Indonesia.
Mereka takut salah?
Salah enggak masalah. Dari situ mereka belajar. Sastra Jawa tidak akan habis karena ada yang belajar. Bahasa Jawa yang bisa mati karena tidak ada yang menuturkannya.
Apa kesibukan anda sekarang?
Saya sibuk menulis dan membantu catering istri. Selain itu, saya juga mengisi panggilan workshop dan mengajar ekstrakurikuler sastra dan teater di SMA 1 Muntilan Kabupaten Magelang.
Bagaimana dengan Padhepokan Djagat Djawa?
Ada di rumah. Teman-teman yang mengikuti. Minggu pertama per bulan biasanya ada pertemuan rutin. Di sini tidak ada keanggotaan khusus. Kita sama-sama mengembangkan sastra, budaya, teater Jawa dan Indonesia.
Pesan untuk penulis yang masih belajar?
Yakin sama diri sendiri. Motivasi diri itu penting. Tentukan target yang ingin diraih dan raihlah itu.
Harapan untuk anak muda dan bahasa sastra Jawa?
Lingkup keluarga paling penting. Mereka juga harus diberi tempat untuk belajar. Hal terakhir, minat anak mudanya. Ayo kita mulai pelajari bahasa dan sastra Jawa dari sekarang!
…
Triman mengajak generasi muda melestarikan bahasa ibu, seperti Bahasa Jawa. Ditemui Sabtu (26/5) di kediamannya, Mungkid Kabupaten Magelang, ia juga menghimbau penulis yang masih belajar untuk tidak malu mengirimkan karyanya ke media.
Komentar
Posting Komentar