Cobalah tanya anak sekolah atau remaja tanggung di sekitarmu, apa film Indonesia favorit mereka sekarang? Jawabannya bisa bermacam; Dilan, serial Danur, Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini, atau bahkan film jadul seperti Laskar Pelangi dan Petualangan Sherina. Data Film Indonesia menunjukkan Milea: Suara dari Dilan menjadi film Indonesia berpenonton terbanyak di 2020, sejumlah 3.122.263 penonton. Angka itu memang tidak sebanding dengan lima juta penonton Dilan 1991, film dengan penonton terbanyak 2019, mengingat efek pandemi dan lain hal. Namun, tren penonton lokal pada film dalam negeri terus meningkat. Sepuluh tahun lalu, film dengan penonton terbanyak, Sang Pencerah, ‘hanya’ ditonton satu juta orang. Tahun 1990, Saur Sepuh III bahkan separuhnya lagi, enam ratus penonton. Peningkatan penonton tersebut menunjukkan produk film buatan anak negeri ternyata punya nilai yang tinggi, tidak patut dipandang sebelah mata bila bersanding dengan Hollywood.
Perjalanan film Nusantara ke ranah dunia juga tidak main-main. Film Indonesiea mendapat perhatian publik pasca The Raid booming secara internasional. Menjadi pembuka kategori Midnight Madness di Festival Film Internasional Toronto 2011, film laga ini mendapat apresiasi melimpah sekaligus membuka mata dunia pada perfilman Indonesia. Tahun 2017, sinema kita makin menyebar ke dunia luar. Ada Pengabdi Setan karya Joko Anwar sebagai film terseram Popcorn Frights Film Festival 2018 di Florida, Amerika Serikat dan film terbaik dalam Overlook Film Festival. Ada juga Marlina Si Pembunh Dalam Empat Babak yang menyabet skenario terbaik pada FIFFS Maroko edisi ke-11, film terbaik Asian Nest Wave The Qcinema Film Festival Filipina, dan NETPAC Jury Award di Five Flavours Asian Film Festival 2017. Selain itu masih ada banyak lagi, antara lain Headshot, Skala Niskala, Kucumbu Tubuh Indahku, dan Gundala. Kita patut bangga karena film dalam negeri yang sempat diwarnai horor dan adegan syur kini mampu melawan film negara lain di festival internasional maupun beredar di bioskop luar negeri.
Saat ini, prestasi film buatan bangsa di dalam dan luar negeri berlimpah. Tapi, jauh sebelum itu, ada cerita panjang yang harus dilalui. Sebelum film menjadi benteng budaya seperti sekarang, sinema dan sineas Indonesia harus naik-turun berusaha melayarlebarkan ide di kepala mereka agar mampu dinikmati khalayak.
Resmi Berawal Di Tanah Pasundan
Kita mengenal 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Tanggal 30 Maret diambil dari waktu Usmar Ismail, yang kemudian dinobatkan sebagai Bapak Perfilman Indonesia, pertama kali syuting The Long March atau lebih dikenal dengan Darah dan Doa di tahun 1950. Film itu merupakan titik awal film buatan anak bangsa. Tapi, titik awal bukan berarti tidak ada film sebelum Darah dan Doa yang dibuat dengan campur tangan bangsa.
Film sendiri sudah ada di Indonesia abad 19. Ini terlihat dari banyak gedung bioskop yang bermunculan di Bandung pada 1908 hingga 1970. Ada setidaknya tiga pengusaha bioskop di Bandung saat itu; Busse ‘Raja Bioskop Bandung dan Cimahi’, J.F.W. de Kort seorang importir, dan Thio Tjoan Tek seorang pemborong dan pedagang oli. Bioskop waktu itu punya kelas tertentu; bioskop mewah dengan film berbobot, bioskop sederhana dengan film kurang berbobot atau buatan Asia, serta ada pula bioskop misbar (gerimis bubar) yang dibuat tanpa atap sehingga penonton bubar kalau hujan.
Di tengah film asing yang menguasai bioskop, di tahun 1910 film non-cerita seperti film berita, dokumenter, dan reportase mulai dibuat sineas Eropa di Hindia Belanda. Sepuluh tahun kemudian Pribumi di Batavia mulai membuat film serupa. Namun, film non-cerita ternyata tidak menguntungkan sehingga banyak perusahaan bangkrut.
Tahun 1926, Loetoeng Kasaroeng diputar di bioskop Majestic, Jalan Braga, Bandung. Loetoeng Kasaroeng jadi film cerita pertama yang dibuat di Hindia Belanda. Pembuatan film ini agaknya berasal dari gagasan koran De Locomotif tahun 1925 membuat film cerita di Hindia Belanda seperti apa yang telah terjadi di Burma. L. Heuveldorp (sutradara) dan G. Krugers (kameramen) kemudian merealisasikannya dengan bantuan kakak ipar Krugers, Busse sang pemilik Majestic. Banyak perdebatan apakah Loetoeng Kasaroeng bisa dibilang sebagai film Indonesia, mengingat pada waktu itu nama negara saja masih berupa Hindia Belanda. Selain itu, walau dibuat dengan cerita daerah Sunda, orang-orang yang memprakasai film ini sebagian besar berasal dari Belanda. Hanya Wiranatakusma V, Bupati Bandung saat itu, sebagai penyunting film, penanggung jawab sinematografi, sekaligus penggagas ide cerita, serta pemain film yang berasal dari Pribumi. Film ini memang bukan film Indonesia murni, tapi debutnya di layar lebar adalah awal mula film berkembang di Nusantara. Film yang didukung pemerintah Kabupaten Bandung dan pihak militer Belanda itu mampu membawa angin segar di bioskop yang penuh film impor asal Prancis dan Amerika Serikat.
“Inilah film yang merupakan tonggak pertama dalam industri sinema Hindia sendiri, patut disambut dengan penuh perhatian.” tulis De Locomotif pada September 1926, dikutip dari jurnaba.co.
Kesuksesan pemutaran Loetoeng Kasaroeng dari 31 Desember 1926 hingga 6 Januari 1927 membuat film lain bermunculan. Tahun 1931, film bicara mulai dibuat. Film bicara Indonesia terlaris waktu itu adalah Terang Boelan karya Albert Balink tahun 1937 yang mendapat 200.000 Dollar Selat atau setara 114,470 Dollar Amerika.
Lalu, bagaimana justru 30 Maret yang menjadi Hari Film Nasional?
Ini berkat usaha Usmar Ismail dan filmnya Darah dan Doa yang tayang 1950. Usai pensiun dari TNI pada 1949, Usmar aktif menjadi sutradara di bawah South Pacific Film Corporation. Namun, ia kemudian hengkang dan mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Dengan modal dan usaha sendiri, pada 30 Maret 1950 Usmar melakukan pengambilan gambar pertamanya untuk Darah dan Doa. Film ini menceritakan perjalanan mantan TNI Divisi Siliwangi dari Yogyakarta ke Jawa Barat pasca kependudukan ibukota Yogyakarta oleh Belanda. Dari kru yang ada, sinema bertema perjuangan revolusi Indonesia dan percintaan ini hanya punya kru profesional Usmar dan Max Tera (kameramen) yang paham seluk-beluk produksi film.
"Selain produser, sutradara, penulis skenario, seringkali harus menjadi sopir, kuli angkut, make up man, pencatat skrip, dan asisten diri sendiri," ujar Usmar dikutip dari lokadata.id.
Usmar sesungguhnya bukan orang Indonesia pertama yang menjadi sutradara film. Sebelumnya ada Bachtiar Effendy yang menyutradarai Nyai Dasima (1932) di bawah Tan’s Film milik Tan Koen Yauw. Hanya saja latar belakang Perfini yang buatan Pribumi jelas membawa arti berbeda. Darah dan Doa yang dibuat sutradara asli Indonesia, dari perusahaan film buatan dalam negeri, dan berlatar belakang Indonesia membuatnya jadi film Indonesia pertama berdasarkan UU No. 8 tahun 1992 tentang Perfilman. Jauh sebelum itu, Konferensi Kerja Dewan Film Indonesia 11 Oktober 1962 telah lebih dulu menetapkan 30 Maret sebagai Hari Film Nasional. Penetapan ini baru diresmikan Presiden Habibie pada perayaannya di tahun 1999. Selain Usmar. nama lain yang juga penting di dunia perfilman negeri adalah Ratna Asmara dan Sofia WD. Ratna merupakan perempuan sutradara pertama di Indonesia lewat Sedap Malam (1950) di bawah Perseroan Artis Indonesia (Persari) buatan Djamaludin Malik. Sofia WD adalah sutradara Badai Selatan (1960), film Indonesia pertama yang masuk seleksi Festival Film Internasional Berlin 1962.
Protes Impor Film Asing
Perkembangan film dalam negeri terus mengalami peningkatan. Tanete Pong Masak dalam bukunya Sinema Pada Masa Soekarno, dikutip dari historia.id, menyatakan ada 317 film dari 74 perusahaan pada periode 1950-1957. Ini peristiwa luar biasa yang belum pernah terjadi dalam sejarah sinema Nusantara, menurutnya. Di era ini pula film Indonesia mulai merambah pasar mancanegara, seperti Singapuran dan Malaysia. Beberapa film masuk ke bioskop di sana walau hanya ada dua bioskop, Taj dan Garrick, yang memutar. Film Indonesia juga mulai menyabet penghargaan internasional; Si Pintjang dan Pulang menang Festival Karlovy Vary di Cekoslovakia 1952 dan 1954, Harimau Tjampa sebagai musik terbaik Festival Film Asia Tenggara 1955, dan Tamu Agung film komedi terbaik di festival yang sama tahun 1956.
Sayang, tren positif sinema Nusantara mengalami kemacetan di 1957 dengan hanya memproduksi 21 film, selisih cukup banyak dari 36 film di 1956. Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI) berpentolan Djamaludin Malik dan Usmar Ismail bahkan memutuskan penutupan studio film karena merugi, hal yang kemudian banyak ditentang pekerja seni. Perseteruan perujung pada penolakan film Amerika oleh Panitia Aksi Pemboikotan Film Imperialis Amerika Serikat (PAPFIAS) dengan dalih film itu menyebabkan kenakalan remaja. Walau PAPFIAS mampu diredam dan tokohnya ditangkap, dorongan pengurangan film impor tetap ada hingga 1970-an. Berdasarkan tulisan Tempo 12 Januari 1974, muncul Kelompok Gerakan Muda Perfilman Indonesia Untuk Indonesia yang mengirim perwakilan kepada Departemen Penerangan (Deppen) untuk mendesak pemerintah mengurangi impor film asing. Desakan tersebut sejatinya disetujui pula oleh Haji Djohardin Direktur Film Deppen.
“Namun penurunan itu harus sejalan dengan perkembangan produksi film dalam negeri. Kalaupun kehendak mengurangi film impor itu dilaksanakan, tidak pula secara otomatis meningkatkan film-film nasional. Yang benar, kalau produksi film nasional berkembang, maka film-film impor akan menurun,” ujarnya kepada wartawan Tempo dalam tulisan berjudul Film Indonesia Untuk Indonesia 12 Januari 1974.
Pernyataan Djohardi didukung importir dan produser film. Mereka menyatakan mulai tertarik berinfestasi pada film dalam negeri. Tapi, ada saja alasan sehingga itu tidak terlaksana, seperti ketakutan film diproduksi asal jadi. Produksi film Indonesia yang bertambah digadang mampu menekan impor, namun kenyataan tidak semudah itu. Alat dan kemampuan yang ada tidak mendukung. Di era tersebut, Menteri Penerangan Mashuri padahal menarget 500 film diproduksi per tahun. Turino Djuneidi, Ketua PPFI 1974 dalam Mengejar Lima Ratus Judul di Tempo, menyatakan itu tidak mungkin. Ia menjelaskan bahwa setidaknya dalam setahun hanya 5 film yang bisa dibuat oleh satu sutradara dan kameramen, sedangkan artis tidak mungkin main lebih dari 5 film. Jumlah sutradara yang ada saja paling banyak 50 orang waktu itu. Sistem impor film Amerika tidak membantu. Jika mau mengimpor satu film bermutu Amerika, importir harus membeli juga beberapa film gandengan yang tidak sebermutu itu. Ini berarti, menurutnya, banyak film asing tidak bermutu yang masuk menyebabkan selera film ikut menurun. Film Indonesia asal jadi semakin banyak. Protes dan desakan yang terus bergulir agaknya dikesampingkan dan dianggap gampang Djohardi. Ia menyebut pernyataan Turino tidak beralasan. Djohardi menangkis ketidakmungkinan itu dengan menjabarkan bantuan dan dorongan yang telah Deppen lakukan bagi perfilman dalam negeri, macam keringanan pajak dan bantuan modal.
“Kalaupun film nasional tak berkembang, jangan tanya pada orang lain tapi tanya pada diri kita masing-masing,” ujarnya pada Tempo.
Impor film asing yang mendominasi bioskop dalam negeri rupanya menjadi penyakit yang tidak mudah hilang. 40 tahun kemudian, protes peredaran film asing yang diduga terkena praktek monopoli satu pihak muncul. Tahun 1991, berdasar laporan Tempo, insan film mendatangi DPR untuk memprotes monopoli peredaran film asing yang dilakukan Subentra Group dengan Sudwikatmono sebagai kepala. Ketua Asosiasi Importir Film Mandarin sekaligus pimpinan PT Subentra dan PT Suptan ini diundang Komisi IX DPR karena tudingan perusahaannya memonopoli pemutaran film asing yang menyebabkan film lokal tersingkir. Praktik ini mulai terasa sejak 1989 dan makin membuat panik karena Dwi, sapaannya, juga diajak Masyarakat Ekonomi Perfilman Indonesia (MEPI) dalam impor film Hollywood. Sineas Indonesia, antara lain Eros Djarot, Slamet Rahardjo, dan Christie Hakim, pun berusaha melaporkan dugaan tersebut pada fraksi-fraksi DPR hingga minta dipertemukan dengan Deppan, yang dianggap tidak jelas keberpihakannya.
Pria yang masih bersaudara dengan Presiden Soeharto ini menolak tuduhan tersebut. Ia mengaku importir film membantu pemerintah mengurus peredaran film impor serta jadwal penayangan film telah diatur MEPI agar film Indonesia tetap mendapat penonton. Menurutnya, pengedar film di daerah tidak memutar film lokal karena tidak mampu membelinya, bukan karena monopoli. Sayangnya, mereka malah mengatasnamakan dirinya atas ketidakmampuan itu.
Sineas jelas tidak puas. Mereka kekeh mendorong film Indonesia berada di kelas 1 sama seperti film impor. Namun, hal itu mendapat hambatan karena film dalam negeri belum punya penceritaan yang kuat. Tempo menjelaskan bahwa jenis film yang laris pada zaman itu berputar pada silat berdasar legenda, seperti Saur Sepuh, dan komedi macam Warkop. Film Indonesia harus berhadapan di kelas atas dengan film Mandarin dan film India di kelas bawah.
Menilai Film Dalam Festival
Festival film di Indonesia sejatinya sudah ada sejak 1955. Walaupun demikian, Festival Film Indonesia baru mendapat pengakuan sungguhan di era 1973.
Tempo menceritakan FFI pertama kali terselenggara pada 1955, tepatnya tanggal 30 Maret-6 April disebut oleh tirto.id, dengan Lewat Jam Malam dan Tarmina sebagai film terbaik. FFI pertama kali digagas oleh Djamaludin Malik dan Usmar Ismail, sehingga banyak pihak menyebut ini alasan kedua film karya mereka itu yang mendominasi festival. alasan tersebut bisa jadi masuk akal mengingat Djamaludin pula yang membiayai acara. Namun, perhelatan yang digadang akan diselenggarakan tiap tahun ini hilang begitu saja tahun berikutnya. Ini terjadi karena film mulai kehilangan penonton dan modal. Lima tahun kemudian, keharusan Indonesia mengirim perwakilan ke Festival Film Asia ketujuh di Tokyo menyebabkan FFI harus ada sebagai sarana seleksi, maka terciptalah FFI 21-26 Februari 1960. Kendati menjadi kali kedua penyelenggaraan, FFI 1960 dianggap jadi tahun keenam festival. Tempo menjabarkan ini terjadi karena perkara “kurang enak bahwa sesudah lama baru muncul festival kedua”. Selanjutnya, lagi-lagi FFI hilang. Acara penghargaan serupa hanya sempat numpang sedikit di Pekan Apresiasi Film buatan Departemen Penerangan 1967. Walaupun sempat terlaksana, festival-festival yang ada dianggap tidak jauh dari kepentingan karena dibuat oleh PPFI. Film yang menang festival tentulah bagi perusahaan punya nama lebih saat dijual di pasaran.
Festival penghargaan film muncul lagi di 1970. Kali ini, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jaya yang memprakasai. Di PWI Jaya bahkan ada seksi film yang diisi wartawan yang banyak mengulas film Indonesia waktu itu. Seksi film tersebut yang memimpin tercapainya acara. Namun, Soemarjono ketua pelaksana FFI 1973 menyatakan pada Tempo bahwa film tidak bisa dinilai satu badan saja.
“Penilaian lebih baik diserahkan kepada orang-orang yang bergerak di bidang film dan sebagai wartawan jangan sampai terlibat kepada obyek yang selama ini mereka teropong terus, sebab mereka nanti tidak bisa obyektif,” tuturnya dikutip dari Cari Mutu, Bukan Cari Kutu, Tempo 7 April 1973. Akhirnya, FFI 1973 yang dipelopori oleh ‘pekerja film sungguhan’ terlaksana. Festival ini dinilai tujuh juri dari banyak latar belakang; Goenawan Mohammad (wartawan Tempo), Moh. Said (anggota Badan Sensor Film Jakarta (BSFJ)), Gajus Siagiair (pengajar Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) dan anggota BSFJ), Kusnadi (pelukis, praktisi film dokumenter), Ekana Siswolo (pejabat Deppen), D.A. Peransi (pelukis, praktisi film dokumenter, dosen LPKJ, juri festival film di Eropa), dan Irawati Sudiarso (musikus, anggota Dewan Kesenian Jakarta). Festival yang kemudian hari disebut festival film pertama ini bahkan tidak menghubungi PWI Jaya seksi film.
Ketua PWI Jaya Zulharmans menyebut dualisme yang terjadi antara mereka sebagai sikap arogan orang-orang film. Ia merasa pekerja film tidak menghargai jasa pers film yang mengadakan acara sama lebih dulu tiga tahun lalu. Ketegangan ini berbuntut PWI yang menarik diri dari festival tersebut. Upaya perdamaian terus dilakukan, seperti anjuran PPFI agar produser film memasukkan karya ke PWI, tapi praktisi sinema juga seperti enggan melakukannya.
FFI terus bergulir di tahun-tahun selanjutnya. Piala Citra beredar ke banyak aktor, aktris, sutradara, serta dari sisi artistik. Indonesia bahkan sempat menjadi tuan rumah Festival Film Asia Pasifik 1989. Namun, permasalahan film kita di masa itu tetap tidak lepas dari mutu yang rendah. Menteri Penerangan Harmoko sendiri yang menyebut itu di FFI 1989. Film yang menang kategori terbaik di era itu adalah satu film yang paling menonjol diantara lainnya, antara memang film terbaik atau lebih karena tidak ada film yang lebih bagus sehingga film yang belum tentu benar-benar berkualitas pun bisa menang. Contoh film terbaik FFI tahun itu Pacar Ketinggalan Kereta oleh Teguh Karya sesungguhnya bukan karya terbaiknya. Film di festival itu semua disebut tidak layak ikut kompetisi Oscar. Rosihan Anwar di 1990 menyebut film nasional hanya berupa kerja rutin tanpa peningkatan mutu.
Kebangkitan Sinema Indonesia
Laporan Tempo tahun 2001 menyebut film Indonesia mati sejak 1993, ditandai dengan batalnya Festival Film Indonesia untuk pertama kali sejak bergulir pada 1970-an. Pembatalan tersebut terjadi karena jumlah film nasional tidak cukup untuk mengadakan festival. Jumlah penonton yang menurun, dominasi bioskop 21, dan persaingan dengan sinetron di televisi swasta berkontribusi membunuh perfilman nasional.
Empat tahun kemudian, akhirnya perfilman Indonesia mendapat angin segar. Nan T. Achnas, Mira Lesmana, Riri Riza, dan Rizal Mantovani membawa terobosan dengan film Kuldesak. Film tentang kehidupan anak muda Jakarta akhir tahun 90-an itu mampu tampil sebagai pendobrak tradisi perfilman yang telah ada dari dulu. Film yang pada zaman itu lazim dibiayai oleh pemilik modal maupun bantuan pemerintah mampu mereka buat dari uang kantong sendiri. Formatnya yang berupa 4 cerita pendek dalam satu film juga dianggap baru ada di Indonesia. Aturan lain yang mereka dobrak ialah keharusan seseorang bisa jadi sutradara setelah tiga kali menjadi asisten sutradara yang dibuat Komisi Film dan Televisi. Banyak kalangan memuji film ini, walau ada juga kritikan terutama dari golongan tua kepada film yang memang ditujukan kepada budaya populer alih-alih perjuangan atau kisah novel klasik. Walaupun begitu, keberadaan Kuldesak mendesak sineas Nusantara membuat film sendiri, tidak bergantung pada duit pemerintah atau perusahaan film besar. Akhirnya, film lain bersemangat sama bermunculan, macam Bintang Jatuh karya Rudy Soedjarwo yang bermodal 70 juta tapi ditonton 8.000 orang maupun Petualangan Sherina buatan Riri Reza dengan setengah juta penonton.
Film Sebagai Benteng Budaya
“Kita menjadikan film Indonesia sebagai benteng budaya kita,” ujar Chand Parwez Servia, pemilik Kharisma Starvision Plus.
Menjadikan film Indonesia sebagai benteng budaya bukan hal main-main. Setelah berjuang di 1950-an dan terseok di 1970-an, akhirnya film kita mampu bangkit di 2000-an. Tema positif yang sarat makna dan budaya mulai digandrungi baik produser atau penonton film. Dari film horor yang laris di zaman Suzanna hingga film esek-esek yang menampilkan seks, godaan, atau bagian tubuh wanita di poster, film Indonesia kini berkembang ke cerita sehari-hari yang penuh moral hingga film fiksi pahlawan super dalam negeri. Semuanya bentuk usaha menaikkan nilai produk buatan bangsa.
Di era 2010 kebelakang, layar lebar kita gandrung dengan film religi, petualangan remaja, dan horor dewasa. Ketika Cinta Bertasbih dan sekuelnya merajai bioskop 2009, menyusul sukses Ayat-Ayat Cinta di tahun sebelumnya. Sang Pencerah dan Dalam Mihrab Cinta melanjutkan tren tersebut di 2010. Masuknya film religi, walaupun berbalut cinta dan revolusi, tentu sedikit-banyak mencerminkan religiolitas bangsa yang terkenal sebagai negara mayoritas Islam ini. Film religi bahkan tidak kehilangan penonton hingga sepuluh tahun kemudian. Filmindonesia.id menunjukkan film religi selalu masuk jajaran atas film berpenonton terbanyak, tren yang baru agak hilang di 2018-2020. Film remaja ala serial Laskar Pelangi dan Garuda Di Dadaku di 2010-an atau yang terbaru Dilan juga selalu mendapat tempat di hati banyak penonton. Larisnya film jenis ini tentu sesuai dengan target pasar remaja yang seolah jadi penonton tetap bioskop seluruh negeri. Tapi dari semua itu, yang paling laris dan selalu ada di layar lebar kita adalah film horor. Sejak 1970-an, horor mustahil hilang dari hadapan penonton. Walaupun waktu itu masih kalah dengan film tema silat dan legenda, tapi film horor mampu bertahan hingga sekarang. Ini tak lepas dari budaya dan kepercayaan mistisme yang masih kental di daerah. Produser film bahkan melirik mistisme daerah untuk dibawa ke nasional, contohnya Lampor: Keranda Terbang yang tayang tahun lalu dengan legenda setan lampor asal Temanggung, Jawa Tengah. Horor tidak pernah kehilangan penonton. Film bergenre apapun selalu menunjukkan latar belakang budaya Indonesia, baik daerah-nasional atau tradisional-modern.
Sebuah film tidak hanya menampilkan budaya melalui sorotan kamera. Di balik layar, proses pembuatan film jugalah budaya. Parwez mengatakan bahwa film adalah karya audio visual kolektif. Kolektif menunjukkan film dibuat banyak orang, setidaknya mayoritas film begitu walau tidak mustahil ada film yang dibuat satu orang. Indonesia mengenal budaya gotong royong dan kekeluargaan. Budaya ini yang menurut Parwez ada dalam produksi film. Film tidak berjalan hanya lewat arahan sutradara. Para pemain harus mau bekerja sama. Kru di belakang kamera juga harus bekerja sejalan. Sinergi dan gotong royong dalam mengambil satu gambar ini kemudian berbalut kepedulian keluarga, maka mampu menghasilkan atmosfir yang tak hanya produktif tapi juga menyenangkan bagi mereka. Sesuatu yang dikerjakan dengan senang akan menghasilkan hal baik, bukan?
Ketika Kini Film Terjangkit Virus
70 tahun sudah sinema Indonesia berputar di layar lebar. Dari film non-cerita ke cerita, film bisu hingga bersuara, sekarang film bangsa bahkan malang melintang di mancanegara. Jutaan penonton dalam negeri memenuhi ribuan bioskop yang ada di seluruh negeri. Walau masih tetap bertarung dengan film impor, apalagi box office AS atau film superhero, film kita punya pasar yang terus meningkat. Film indie buatan komunitas film juga bermunculan terutama dikalangan mahasiswa. Sayangnya, dekade kedua abad 21 ini membawa petaka. Virus Covid-19 menyerang Bumi. Akibatnya, pemerintah dunia berbondong menyuruh warga melakukan pembatasan fisik yang berarti larangan berkumpul.
Larangan berkumpul bagi masyarakat Indonesia yang kemudian ditetapkan sebagai PSBB memaksa tempat-tempat umum, seperti mal, hotel, dan bioskop tutup. Pasal 4 Peraturan Pemerintah tentang PSBB sebenarnya tidak mewajibkan penutupan tempat umum, minimal berupa pembatasan. Namun, penyebaran Covid-19 yang semakin merebak menyebabkan aturan diperketat. Di daerah zona merah dengan angka korban pandemi tinggi, warga dilarang beraktivitas di luar rumah selain demi kebutuhan pokok. Hal ini menyebabkan pengunjung tempat umum berkurang atau malah tidak ada sama sekali. Tempat-tempat umum pun memilih tutup untuk menekan angka penyebaran sekaligus mengurangi biaya operasional, tak terkecuali bioskop.
Operator bioskop Indonesia, seperti Cinema XXI dan CGV Cinema, menutup pintu ratusan bioskop mereka di seluruh negeri. 1.176 layar bioskop yang Cinema XXI bangun sampai Januari 2020 terpaksa digulung dan berdebu tanpa penonton. Target bioskop Cinepolis menjual 20 juta tiket pada 2020 juga terancam tidak tercapai.
Jika bioskop berhenti beroperasi, bagaimana dengan sineas dibalik film-film yang ada di layar? Proses produksi film membutuhkan kerja sama kolektif dari para kru kreatif. Ini berarti orang-orang harus berkumpul di lokasi yang sama mulai dari pra-produksi, syuting, hingga film jadi dan siap diedarkan. Perkumpulan orang jelas melanggar PSBB. Penutupan daerah dan blokade jalan raya juga tidak memungkinkan kru film pergi ke lokasi syuting yang ada di luar kota. Proses produksi sinema pun mandek total.
Chand Parwez Servia, Ketua Badan Perfilman Indonesia, menyatakan berdasarkan asumsinya ada 60 juta penonton film di tahun 2020. Dengan harga tiket rata-rata lima puluh ribu, maka satu film seharusnya mampu menghasilkan keuntungan tiga triliun. Namun akibat pandemi, maksimal hanya 25% keuntungan yang bisa diselamatkan.
“Ada film yang selesai, tapi bioskop tutup enggak bisa main. Ada film yang sedang post-production tidak bisa dilaksanakan. Ada film yang sedang syuting juga tidak bisa diteruskan karena ada lockdown. Kita mengedepankan keselamatan, tapi kondisi yang kita hadapi sekarang keruntuhan ekonomi,” jelasnya.
Teknologi Maju, Film Beralih Streaming?
Layanan over the top (OTT) macam Netflix berpotensi menjadi alternatif di tengah penutupan bioskop. Hal ini seperti yang dilakukan Disney terhadap Frozen II yang rilis di Disney+ kurang dari empat bulan pasca muncul di layar lebar. Film Hollywood melihat OTT sebagai sarana terbaik di saat bioskop tutup dan pemasukan tidak mengalir.
Bagaimana dengan Indonesia?
Selama PSBB, menononton film lewat Netflix mungkin jadi kegemaran kita. Tapi sebelum Netflix masuk Indonesia, kita mengenal HOOQ dan Iflix lebih dulu. Sayang, tahun ini kita kehilangan HOOQ yang memutuskan tutup. HOOQ adalah layanan ala Netflix pertama yang masuk Indonesia tahun 2015. Dailysocial.id menyebut layanan ini tercipta berkat kerja sama Singtel jaringan telekomunikasi Singapura dengan Sony Pictures dan Warner Bros untuk menciptakan layanan streaming seperti Netflix di pasar Asia. Layanan yang rilis 14 April 2016 ini mengklaim menyediakan 10.000 film dan serial Tv baik buatan Amerika atau Asia. Menggunakan sistem prabayar, aplikasi Video on Demand ini punya pelanggan terbanyak dibanding layanan serupa pada 2017. Berdasarkan survei Daily Social HOOQ mencapai 48,3% dari 1037 orang, sedang Netflix di peringkat dua hanya 24,93%. Sebuah prestasi yang tidak terulang dan bubar tiga tahun kemudian. Setelah HOOQ mulai disebut-sebut Februari 2015, Iflix jadi layanan VoD lanjutan yang muncul kepermukaan Juli 2015. Kali ini, aplikasi berasal dari perusahaan Malaysia, Catcha Group. Netflix yang nanti justru mendominasi baru masuk setahun kemudian di Indonesia. Layanan OTT lain terus bertambah; Viu, Viki, Tribe, dan Catchplay. Lalu, bisakah keberadaan mereka membantu perfilman negeri yang tengah mati ini?
Keadaan perfilman Indonesia belum mendukung film bioskop untuk langsung tayang secara OTT. Menurut Chand Parwez, film bioskop punya perbedaan pasar dengan OTT. Film turunan bioskop baru bisa muncul di aplikasi atau TV setelah 4-6 bulan. Angga Dwimas Sasongko CEO Visinema Pictures. dilansir dari tirto.id, menyatakan hal serupa. Film streaming masih punya kendala seperti pemblokiran Netflix yang membatasi penyediaan konten.
“Kita berharap bisa segera kembali berkarya dan bioskop kembali aktif. Tapi kita percaya bahwa setelah ada kesulitan pasti ada kemudahan,” doa Parwez mengutip arti surah Al Insyirah.
Memetakan Film Pasca Pandemi
Pandemi bikin sineas berhenti produksi. Kerugian fatal secara ekonomi jelas luar biasa. Tapi selain itu, apakah fungsi film sebagai benteng budaya bisa bertahan, tanya Parwez. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan.
Pembatasan fisik yang sekarang terjadi menyebabkan keraguan masyarakat berdekatan dengan orang lain. Riset colleendilen.com menyatakan bahwa kegiatan budaya di luar ruangan akan mengalami peningkatan. Sebaliknya, tempat umum yang cenderung tertutup, seperti bioskop, kurang diminati. Masyarakat juga tidak serta-merta beraktivitas seperti semula. Perlu waktu penyesuaian setidaknya 1-3 bulan dan baru kembali ke ‘keadaan awal’ enam bulan setelahnya.
Riset di atas menunjukkan bahwa setelah PSBB usai, penonton film tidak langsung menonton santai di bioskop. Pihak perusahaan layar perak juga perlu waktu persiapan paling tidak membersihkan gedung yang ditinggal hampir setengah tahun dan memastikan kebersihan dan sarana pencegahan penyebaran virus. Kursi merah yang berderet di depan layar juga mustahil boleh terisi penuh, malah mungkin lebih banyak kosong mengingat penonton tidak seleluasa menonton seperti dulu. Penonton pasti was-was sebelum duduk di bioskop, apakah ruangan tertutup itu benar bebas virus? Sekarang mungkin kita merasa rindu ingin cepat nonton film di bioskop, tapi apa iya kalau pembatasan diangkat kita langsung berbondong ke bioskop tanpa ragu dan khawatir? Sikap penonton pasca pandemi akan sangat berubah.
Pandemi yang memberi efek pada budaya menonton film layar lebar membawa kerugian baik pada produsen dan distribusi film. Kru produksi dan perusahaan bioskop sama-sama tidak mendapat untung sebanyak sebelum pandemi ketika jumlah penonton membludak. Sebagai contoh, studio Cinemaxx punya 108 penonton jika terisi penuh. Setelah pandemi, katakan antara dua bangku diberi jarak satu bangku sebagai bentuk pembatasan fisik. Ini berarti satu studio hanya boleh terisi 48 kursi. Perhitungan itu baru kasar dan dengan anggapan penonton datang 100%. Kenyataan pasti berbeda. Dari segi uang pun rugi. Jika satu tiket Rp40.000, maka normal dapat pemasukan Rp4.320.000 sekali nonton jika studio penuh. Setelah pandemi hanya dapat Rp1.920.000, setengah pun tak ada. Jika film itu tayang sebulan di waktu normal mendapat 129 juta, maka waktu pandemi cuma meraup 57 juta. Perhitungan ini baru terjadi di satu studio. Walau menghitung semua studio yang ada di Indonesia, tetap berarti kerugian. Produser tidak balik modal? Itu hampir pasti terjadi.
Menghadapi perubahan pasca wabah, produser dan pengusaha perfilman tidak punya pilihan selain beradaptasi. Proses produksi yang penuh orang akan lebih higienis dengan kru bermasker. Bioskop akan melengkapi diri dengan protokol kesehatan pada penonton. Keadaan ini tentu menyulitkan dan sangat disayangkan terjadi ketika film lokal mulai diakui di tanah sendiri. Tapi, 70 tahun film berputar membuktikan bahwa ketika perfilman negeri jatuh pada akhirnya sineas mampu bangkit walau harus terseok-seok dulu. Jika tidak mampu, malulah sama lutung yang malang-melintang di layar perak tahun 50-an.
Daftar Pustaka
Abas, D. (2020). The Raid Tingkatkan Pamor Film Action Indonesia di Mata Dunia. Retrieved from medcom.id website: https://www.medcom.id/hiburan/film/gNQGeYwk-the-raid-tingkatkan-pamor-film-action-indonesia-di-mata-dunia
Ardanareswari, I. (2020). Bagaimana Industri Film Bertahan di tengah Flu Spanyol & COVID-19. Retrieved from tirto.id website: https://tirto.id/bagaimana-industri-film-bertahan-di-tengah-flu-spanyol-covid-19-eNeF
Aryono. (n.d.). Jagat Sinema Orde Lama. Retrieved from historia.id website: https://historia.id/kultur/articles/jagat-sinema-orde-lama-DOaYx
Bohang, F. K. (2016). Akhirnya Masuk Indonesia, Netflix Itu Apa? Retrieved from kompas.com website: https://tekno.kompas.com/read/2016/01/07/13085347/Akhirnya.Masuk.Indonesia.Netflix.Itu.Apa.
Data Penonton. (n.d.). Retrieved from filmindonesia.or.id website: http://filmindonesia.or.id/movie/viewer/2020#.XtYEcXEzbIU
Deliusno. (2016). Layanan Video “On Demand” Hooq Resmi Hadir di Indonesia. Retrieved from kompas.com website: https://tekno.kompas.com/read/2016/04/14/15405757/Layanan.Video.On.Demand.Hooq.Resmi.Hadir.di.Indonesia
Eka, R. (2017). Video on Demand dan Penerimaannya oleh Masyarakat Indonesia. Retrieved from dailysocial.id website: https://dailysocial.id/post/video-on-demand-dan-penerimaannya-oleh-masyarakat-indonesia
Fitri, A. (2020). Cinema XXI: Jumlah penonton film masih tinggi walau ada wabah corona. Retrieved from kontan.co.id website: https://industri.kontan.co.id/news/cinema-xxi-jumlah-penonton-film-masih-tinggi-walau-ada-wabah-corona
Hidayat, W. A. (2019). Daftar Film Indonesia yang Berjaya di Festival Internasional. Retrieved from tirto.id website: https://tirto.id/daftar-film-indonesia-yang-berjaya-di-festival-internasional-egJn
Indonesia, C. (2019). Cinepolis Indonesia Targetkan Jual 20 Juta Tiket pada 2020. Retrieved from cnnindonesia.com website: https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20191205134542-220-454421/cinepolis-indonesia-targetkan-jual-20-juta-tiket-pada-2020
Indrarto, T. (2017). Lika-liku lahirnya Hari Film Nasional. Retrieved from lokadata.id website: https://lokadata.id/artikel/lika-liku-lahirnya-hari-film-nasional
Kaonang, G. (2015a). Layanan Streaming Film ala Netflix Akan Hadir di Indonesia. Retrieved from dailysocial.id website: https://dailysocial.id/post/layanan-streaming-film-ala-netflix-akan-hadir-di-indonesia
Kaonang, G. (2015b). Layanan Streaming Film Iflix Siap Masuk Indonesia Tahun Ini Juga. Retrieved from dailysocial.id website: https://dailysocial.id/post/layanan-streaming-film-iflix-siap-masuk-indonesia-tahun-ini-juga
Kartodiwiro, S. K. (2006). BANDUNG: Kilas Peristiwa Di Mata Filatelis Sebuah Wisata Sejarah. Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya.
Matanasi, P. (2016). Mencari Jejak Film Nusantara. Retrieved from tirto.id website: https://tirto.id/mencari-jejak-film-nusantara-waC
Ravenscraft, E. (2020). Streaming New Movie Releases Could Be Here to Stay. Retrieved from onezero.medium.com website: https://onezero.medium.com/streaming-new-movie-releases-could-be-here-to-stay-463ba50df817
Suryo, B. (2018). Loetoeng Kasaroeng, Tonggak Sejarah Industri Sinema Indonesia. Retrieved from jurnaba.co website: https://jurnaba.co/loetoeng-kasaroeng-tonggak-sejarah-industri-sinema-indonesia/
Teguh, I. (2018). Sejarah Festival Film Indonesia: Enam Dekade Saksi Pasang Surut. Retrieved from tirto.id website: https://tirto.id/sejarah-festival-film-indonesia-enam-dekade-saksi-pasang-surut-dbsm
Tempo, P. D. dan A. (n.d.). Seri Data Tematik: Wajah Perfilman Indonesia 70an. TEMPO Publishing.
Tempo, P. D. dan A. (2019a). Hiruk Pikuk Festival Film Indonesia (4th ed.). TEMPO Publishing.
Tempo, P. D. dan A. (2019b). Hiruk Pikuk Festival Film Indonesia (1st ed.). TEMPO Publishing.
Tempo, P. D. dan A. (2019c). Perfilman Indonesia dan Kasus Monopoli Pemasaran Film Asing. TEMPO Publishing.
Tempo, P. D. dan A. (2019d). Sinema Indonesia Bangkit Setelah Mati Suri. TEMPO Publishing.
Komentar
Posting Komentar