Menonton film romansa berbalut komedi adalah guilty pleasure sejati. Belum tentu berbobot apalagi menang Oscar, tapi selalu bikin nagih. Kita jadi nonton terus sampai enggak sadar film romance-comedy itu punya bahaya tersembunyi.
Film
romcom menghasilkan pleasure, tapi berakhir quilty karena
“kok kita demen nontonin cerita remeh kayak gini”. Gengsi mengaku
pecinta film tapi waktu ditanya film favorit jawabnya Dilan 1991, Teman Tapi
Menikah, To All The Boys I’ve Loved Before, dan film lain setipe. Beda dengan
orang yang hobi nonton film Bong Joonho atau Joko Anwar.
Bukan
bermaksud menjelekkan, film romcom juga ada yang bagus. Tapi paham kan
maksudnya. Film romcom lebih dibuat dan ditonton buat senang-senang,
tidak demi gambar, tokoh, apalagi cerita berkualitas.
Walau
begitu, film bergenre roman-komedi tetap laris di kalangan penikmat film. Lihat
saja jumlah rilis film romcom di media streaming macam Netflix
atau Disney+ setiap tahun. Tahun 2020, lebih dari 20 film romcom
mewarnai industri perfilman Netflix. Itu baru satu aplikasi, belum ditambah
media lain dan film yang batal tayang.
Menjaring
penonton film romcom jelas mudah. Penonton tidak perlu berpikir keras,
tegang, apalagi ambil pusing terhadap apa yang dialami si tokoh. Cukup duduk
manis dan ikuti alur sederhana berputar di hadapan mereka. Mau cara mudah? Buat
saja film dari novel remaja laris dengan penggemar pasti. Paling tidak film itu
terjamin punya penonton.
Berarti
enggak masalah menonton film romcom? Jangan senang dulu. Justru banyak
bendera merah sepanjang bungkus kesenangan tadi.
Kemasan
film romcom sederhana tapi segar dan mudah dinikmati, seperti minum es
kopi dengan ekstra krim kocok, saus, dan sprinkle. Saking manis dan
cantik lupa diabetes menghantui. Saking ganteng si aktor enggak sadar
tindakannya di film itu toxic. Film romcom berhasil mengemas hal
negatif serasa bukan masalah.
Akhir-akhir
ini, banyak film Netflix meromantisasi tindakan toxic. Contohlah The
Kissing Booth yang menceritakan perjuangan siswi SMA mempertahankan cinta
pertama, sangat klise khas ribuan film romcom lain dengan target audiens
usia remaja muda. TKB sukses membawa penonton masuk ke dunia percintaan remaja
yang terlihat bahagia walau aslinya berbisa.
Sekilas
film menceritakan hidup remaja yang kelihatan hanya senang-senang. Pergi
kencan, girls time, pesta dansa, pokoknya kegiatan hura-hura yang
dilakukan buat mendapat kesenangan. Tapi di balik itu, penonton tidak sadar
hubungan pacaran atau pertemanan si tokoh ternyata toxic.
Di
The Kissing Booth, penonton bakal merasa Elle beruntung, punya sahabat dan
pacar super ganteng. Padahal, Noah suka kekerasan, Lee egois, bahkan si tokoh
utama Elle pun toxic karena pencemburu tapi selingkuh. Romantisasi
hubungan tidak sehat film tertutupi kemasan romcom yang mengedepankan
sikap romantis dan bumbu guyonan.
Jika
tidak jeli, semua tidak terlihat dan berakhir maklum. Maklum Noah cemburu pada
Elle yang ngobrol dengan teman sebaya. Maklum Lee egois karena iri pada Noah.
Maklum Elle dependen pada orang lain. Pemakluman itu buruk karena berarti penonton
menerima sikap toxic dalam film.
Setelah
menerima, yang terjadi adalah peniruan. Film sejak lama menjadi salah satu
media pembelajaran. Ingat orang membunuh karena mencontoh adegan film? Itu
terjadi kalau penonton menerima bulat-bulat isi film. Khalayak terlalu banyak
terpapar tayangan buruk dan tidak sadar itu salah.
Walau romantisasi tindakan toxic dalam
film romcom membawa pengaruh buruk, premis demikian justru laris dan
terus-terusan diproduksi. Belum cukup film orisinil, rumah produksi bahkan
mengadaptasi novel yang jelas bernarasi toxic. Kalau mau cari aman,
masih banyak novel lain yang punya nilai lebih untuk difilmkan. Mengapa tidak membuat
film romcom remaja yang positif dan benar-benar sesuai kehidupan remaja?
Tidak
bijak menonton film tanpa gate keeper. Netflix dan media lain seperti
tidak berhenti memproduksi romcom buruk dalam waktu dekat. Mereka sering
tidak tahu diri menyiarkan apa, jadi penonton harus aktif membentengi diri. Lalu
tersisa tiga pilihan; tidak menonton sama sekali dan mending lihat review
Youtube, hanya menonton untuk hiburan dengan penuh kesadaran tidak meniru, atau
dampingi penonton remaja muda yang rentan percaya pada adegan film.
Komentar
Posting Komentar